“Iih,… Mama sudah betul-betul capek ni,
Mas. Mbok tolong to, jangan ganggu kakak terus. Kakak tu baru belajar,... ”
teriakan Mama pada anaknya yang berusia 3 tahun. Si anak segera berlari melihat
Mamanya menuju ke arahnya. Tetapi hanya sebentar, hanya hitungan detik mungkin.
Si anak kembali lagi menggoda kakaknya. Dan lagi-lagi sang Mama berteriak kesal.
”Mas,... Kamu ni, benar-benar ya. Sudah, Mama benar-benar marah ni” sambil
mengangkat tangan memberi tanda mau memukul. Si anak pun kembali ’melarikan
diri’ sambil berkata pada diri sendiri ”Asyik,... nanti tak ganggu lagi” dengan
suara pelan. Agaknya anak mulai merasa menang karena sudah berhasil membuat
Mama marah. Dan tampaknya semakin Mama marah, si anak akan semakin senang dan puasss...
Dan ternyata betul. Cerita di atas tidak berhenti begitu saja. Si anak terus
saja mencari celah untuk menarik perhatian Mamanya. Dan celakanya, sang Mama
pun semakin marah,...
Kejadian semacam itu masih
banyak terjadi. Dimana orang tua terlalu reaktif dengan sikap apapun yang
dilakukan anak. Sikap anak yang seolah-olah selalu memancing emosi ini memang
bukan hal yang aneh. Adalah hal yang sangat wajar, anak seusia balita mengalami
fase yang demikian. Ada beberapa hal yang dapat menjadi penyebab kejadian memancing
emosi ini.
Pertama,
si kecil merasa keinginannya tidak dipahami oleh orang dewasa. Hal ini karena
komunikasi balita yang masih terbatas. Tidak jarang orang tua sendiri pun kurang
mengerti apa yang dimaksudkan anak melalui celotehannya. Sehingga sering
terjadi keliru memberikan apa yang diinginkan anak. Apalagi jika ada seorang
ayah atau ibu yang bekerja di luar rumah dengan waktu yang cukup lama, sehingga
relatif sedikit waktu yang tersedia untuk menjalin komunikasi dan berinteraksi
dengan anak. Maka, sangatlah penting bagi orang tua untuk memberikan waktu yang
cukup untuk membersamai perkembangan anak terutama pada usia balita.
Kedua, sikap anak yang seolah ’sengaja’
memancing emosi ini juga dapat disebabkan karena kebiasaan. Misal, anak
belajar dari pengalamannya, jika ia berteriak-teriak maka Mama akan memberikan
apa yang dia minta. Atau jika ia mengganggu orang lain, maka Mama akan
memperhatikannya, mendengarkan keinginannya. Dan sebagainya. Dalam hal ini,
kita sebagai orang tua harus berhati-hati dan introspeksi. Jangan-jangan orang
tua sendiri yang menjadi penyebab sikap anak yang demikian. Awalnya mungkin
karena kasihan, atau permakluman-permakluman. Misalnya karena menganggap mereka
masih kecil, seringkali orang tua atau orang dewasa lainnya cenderung
memberikan apa yang diminta anak. Atau karena orang tua nggak mau repot,
daripada nangis atau membuat masalah, sudahlah turuti saja apa maunya. Apalagi
pada saat orang tua menghadapai situasi-situasi penting. Seperti saat ada tamu,
sedang mengerjakan pekerjaan kantor di rumah, saat sedang mengejar deadline,
dan sebagainya. Kondisi awal tersebut akhirnya terekam kuat dalam memori anak.
Dan anak akan cenderung mengulang ’keberhasilannya’ itu ketika suatu saat apa
yang diinginkan tidak diberikan.
Ketiga, kejadian yang
cenderung memancing emosi tersebut juga dapat terjadi sebagai bentuk protes
anak. Anak berusaha mencari perhatian dengan cara mereka sendiri. Apa yang
dilakukan si anak seperti pada contoh di atas, sebenarnya hanyalah satu bentuk
protes anak ”Kok aku nggak diperhatikan”. Tetapi, lagi-lagi karena keterbatasan
komunikasi anak balita tersebut maka jadilah ia mengekspresikan dengan bentuk
yang lain. Dengan perilaku apapun yang dapat membuat keinginannya untuk diperhatikan
dapat tercapai. Ini nisa terjadi karena anak merasa iri, misalnya ayah atau ibu
lebih banyak memperhatikan kakaknya atau karena anak merasa tidak terpenuhi
haknya secara penuh, misalnya anak protes karena ayah atau ibu sibuk terus.
Keempat, anak atau orang tua
yang bermasalah? Kadang, emosi atau kemarahan orang tua bukan karena anak yang
bermasalah. Tetapi, justru orang tualah yang sedang bermasalah, sehingga tidak
dapat memberikan respon yang tepat terhadap perilaku anak. Misalnya: karena
orang tua capek, sedang menghadap masalah yang rumit, sedang bersitegang dengan
orang lain, atau kondisi-kondisi sejenis, maka perilaku anak yang sebetulnya
biasa-biasa saja pun bisa memancing kemarahan.
Jika kebiasaan ini tidak
diantisipasi dengan benar, maka akan berlanjut hingga dewasa. Dan pada masa kanak-kanak
anak akan dijauhi teman-temannya, dicap nakal, trouble maker, dan sebagainya.
Untuk hal di atas ada beberapa saran yang
dapat dilakukan orang tua :
1. Sediakan waktu
yang cukup untuk membersamai perkembangan anak, utamanya pada uisa balita. Jika
secara kuantitas tetap tidak memungkinkan atau sulit diusahakan maka secara
kualitas harus diupayakan. Misalnya, manfaatkan waktu menjelang tidur dan
bangun tidur atau manfaatkan hari minggu sebaik-baiknya untuk berinteraksi
secara maksimal dengan anak. Sehingga orang tua akan lebih memahami komunikasi
anak dengan segala keterbatasannya.
2. Kendalikan
diri. Hindari sikap reaktif. Diam sejenak untuk memikirkan kalimat apa yang
harus terucap atau tindakan apa yang harus dilakukan bisa menjadi salah satu
pilihan yang dapat dilakukan orang tua. Misalnya untuk kasus seperti contoh di
atas, sebaiknya sang Mama tidak langsung menegur dengan kesal. Kendalikan diri,
diam sejenak memikirkan kalimat apa atau tindakan apa yang harus dilakukan.
Misalnya memberikan alternatif kegiatan untuk mengalihkan agar si anak tidak
lagi mengganggu kakaknya. Bisa dengan mengajak mewarnai, menggunting, melihat
gambar, atau yang lainnya.
3. Sesekali orang
tua bisa mengambil langkah ’sementara cuek’. Bukan berarti orang tua selalu
membiarkan saja ketika anak melakukan ”kekacauan”, tetapi sekali waktu orang
tua perlu memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar menyelesaikan
masalah. Misalnya, adik yang berebut pensil dengan kakak. Orang tua yang
mengetahuinya bisa berlaku ’cuek’ dulu sambil mengamati apa yang akan mereka
lakukan untuk menyelesaikan masalah (dengan catatan: tidak ada hal yang
membahayakan). Bisa jadi endingnya salah satu diantara mereka menangis. Pada
saat itu mungkin orang tua sudah menemukan arahan atau pesan apa yang akan
disampaikan kepada masing-masing anak. Dan orang tua tidak perlu marah-marah
lagi. Untuk anak-anak tertentu, pada usia 3 dan 5 tahun kadang mereka sudah
bisa menyelesaikan masalahnya tanpa harus ada yang menangis. Langkah cuek ini
juga dapat dilakukan untuk anak-anak yang mencoba mempengaruhi sikap orang tua.
Misalnya dengan cara menangis atau membuat ulah, keributan, kekacauan agar apa
yang diinginkan dapat dipenuhi. Orang tua harus cermat dalam menentukan sikap.
Jika memang sesuatu yang diminta merupakan hal yang memang dibutuhkan dan harus
dipenuhi maka orang tua bisa memberikan dengan tetap memberi penjelasan kepada
anak bahwa membuat ulah, keributan, kekacauan tidak perlu dilakukan. Bahwa
meminta dengan baik dan sopan adalah lebih baik. Tetapi untuk suatu hal yang
mengada-ada saja maka berlatih untuk ’cuek’ bisa menjadi pilihan orang tua.
4. Apabila orang
tua sedang capek atau sedang menghadapi masalah yang rumit atau sedang mengejar
deadline maka lebih baik jika meminta maaf terlebih dahulu dan memberitahukan
kepada anak bahwa ayah atau ibu minta tolong untuk istirahat dulu (agar anak
tidak mengganggu). Ayah atau ibu perlu meminta maaf karena bisa jadi pada saat
itu anak kita sedang membutuhkan bantuan atau perhatian. Mereka mengajak kita
bermain atau menyelesaikan masalahnya, tetapi orang tua tidak bisa memenuhinya
pada saat itu juga. Hal ini juga bisa digunakan sekaligus untuk melatih empati
anak, agar anak belajar mengetahui perasaan orang lain, mengerti kondisi orang
lain. Jika pada masanya (usia masih sangat kecil) hal ini belum memungkinkan
dilakukan maka orang tualah yang harus mengalahkan emosinya dan memenuhi
kebutuhan anak. (Mungkin anak mengajak bermain atau minta ditemani menggambar,
dan lain-lain). Apabila pada saat capek dan banyak urusan tersebut orang tua
mengahdapi anak yang memancing emosi, maka saran untuk ’diam sementara’ bisa
menjadi pilihan orang tua.
Semoga kita bisa menjadi orang tua yang semakin bikasana. Amien.
Allahu ’alam bish showab.