Minggu, 09 November 2014

Asyik…., Mama sudah mulai marah

“Iih,… Mama sudah betul-betul capek ni, Mas. Mbok tolong to, jangan ganggu kakak terus. Kakak tu baru belajar,... ” teriakan Mama pada anaknya yang berusia 3 tahun. Si anak segera berlari melihat Mamanya menuju ke arahnya. Tetapi hanya sebentar, hanya hitungan detik mungkin. Si anak kembali lagi menggoda kakaknya. Dan lagi-lagi sang Mama berteriak kesal. ”Mas,... Kamu ni, benar-benar ya. Sudah, Mama benar-benar marah ni” sambil mengangkat tangan memberi tanda mau memukul. Si anak pun kembali ’melarikan diri’ sambil berkata pada diri sendiri ”Asyik,... nanti tak ganggu lagi” dengan suara pelan. Agaknya anak mulai merasa menang karena sudah berhasil membuat Mama marah. Dan tampaknya semakin Mama marah, si anak akan semakin senang dan puasss...
Dan ternyata betul. Cerita di atas tidak berhenti begitu saja. Si anak terus saja mencari celah untuk menarik perhatian Mamanya. Dan celakanya, sang Mama pun semakin marah,...
          Kejadian semacam itu masih banyak terjadi. Dimana orang tua terlalu reaktif dengan sikap apapun yang dilakukan anak. Sikap anak yang seolah-olah selalu memancing emosi ini memang bukan hal yang aneh. Adalah hal yang sangat wajar, anak seusia balita mengalami fase yang demikian. Ada beberapa hal yang dapat menjadi penyebab kejadian memancing emosi ini.
Pertama, si kecil merasa keinginannya tidak dipahami oleh orang dewasa. Hal ini karena komunikasi balita yang masih terbatas. Tidak jarang orang tua sendiri pun kurang mengerti apa yang dimaksudkan anak melalui celotehannya. Sehingga sering terjadi keliru memberikan apa yang diinginkan anak. Apalagi jika ada seorang ayah atau ibu yang bekerja di luar rumah dengan waktu yang cukup lama, sehingga relatif sedikit waktu yang tersedia untuk menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan anak. Maka, sangatlah penting bagi orang tua untuk memberikan waktu yang cukup untuk membersamai perkembangan anak terutama pada usia balita.
Kedua, sikap anak yang seolah ’sengaja’ memancing emosi ini juga dapat disebabkan karena kebiasaan. Misal, anak belajar dari pengalamannya, jika ia berteriak-teriak maka Mama akan memberikan apa yang dia minta. Atau jika ia mengganggu orang lain, maka Mama akan memperhatikannya, mendengarkan keinginannya. Dan sebagainya. Dalam hal ini, kita sebagai orang tua harus berhati-hati dan introspeksi. Jangan-jangan orang tua sendiri yang menjadi penyebab sikap anak yang demikian. Awalnya mungkin karena kasihan, atau permakluman-permakluman. Misalnya karena menganggap mereka masih kecil, seringkali orang tua atau orang dewasa lainnya cenderung memberikan apa yang diminta anak. Atau karena orang tua nggak mau repot, daripada nangis atau membuat masalah, sudahlah turuti saja apa maunya. Apalagi pada saat orang tua menghadapai situasi-situasi penting. Seperti saat ada tamu, sedang mengerjakan pekerjaan kantor di rumah, saat sedang mengejar deadline, dan sebagainya. Kondisi awal tersebut akhirnya terekam kuat dalam memori anak. Dan anak akan cenderung mengulang ’keberhasilannya’ itu ketika suatu saat apa yang diinginkan tidak diberikan.
          Ketiga, kejadian yang cenderung memancing emosi tersebut juga dapat terjadi sebagai bentuk protes anak. Anak berusaha mencari perhatian dengan cara mereka sendiri. Apa yang dilakukan si anak seperti pada contoh di atas, sebenarnya hanyalah satu bentuk protes anak ”Kok aku nggak diperhatikan”. Tetapi, lagi-lagi karena keterbatasan komunikasi anak balita tersebut maka jadilah ia mengekspresikan dengan bentuk yang lain. Dengan perilaku apapun yang dapat membuat keinginannya untuk diperhatikan dapat tercapai. Ini nisa terjadi karena anak merasa iri, misalnya ayah atau ibu lebih banyak memperhatikan kakaknya atau karena anak merasa tidak terpenuhi haknya secara penuh, misalnya anak protes karena ayah atau ibu sibuk terus.
          Keempat, anak atau orang tua yang bermasalah? Kadang, emosi atau kemarahan orang tua bukan karena anak yang bermasalah. Tetapi, justru orang tualah yang sedang bermasalah, sehingga tidak dapat memberikan respon yang tepat terhadap perilaku anak. Misalnya: karena orang tua capek, sedang menghadap masalah yang rumit, sedang bersitegang dengan orang lain, atau kondisi-kondisi sejenis, maka perilaku anak yang sebetulnya biasa-biasa saja pun bisa memancing kemarahan.
          Jika kebiasaan ini tidak diantisipasi dengan benar, maka akan berlanjut hingga dewasa. Dan pada masa kanak-kanak anak akan dijauhi teman-temannya, dicap nakal, trouble maker, dan sebagainya.
Untuk hal di atas ada beberapa saran yang dapat dilakukan orang tua :
1.    Sediakan waktu yang cukup untuk membersamai perkembangan anak, utamanya pada uisa balita. Jika secara kuantitas tetap tidak memungkinkan atau sulit diusahakan maka secara kualitas harus diupayakan. Misalnya, manfaatkan waktu menjelang tidur dan bangun tidur atau manfaatkan hari minggu sebaik-baiknya untuk berinteraksi secara maksimal dengan anak. Sehingga orang tua akan lebih memahami komunikasi anak dengan segala keterbatasannya.
2.    Kendalikan diri. Hindari sikap reaktif. Diam sejenak untuk memikirkan kalimat apa yang harus terucap atau tindakan apa yang harus dilakukan bisa menjadi salah satu pilihan yang dapat dilakukan orang tua. Misalnya untuk kasus seperti contoh di atas, sebaiknya sang Mama tidak langsung menegur dengan kesal. Kendalikan diri, diam sejenak memikirkan kalimat apa atau tindakan apa yang harus dilakukan. Misalnya memberikan alternatif kegiatan untuk mengalihkan agar si anak tidak lagi mengganggu kakaknya. Bisa dengan mengajak mewarnai, menggunting, melihat gambar, atau yang lainnya.
3.    Sesekali orang tua bisa mengambil langkah ’sementara cuek’. Bukan berarti orang tua selalu membiarkan saja ketika anak melakukan ”kekacauan”, tetapi sekali waktu orang tua perlu memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar menyelesaikan masalah. Misalnya, adik yang berebut pensil dengan kakak. Orang tua yang mengetahuinya bisa berlaku ’cuek’ dulu sambil mengamati apa yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah (dengan catatan: tidak ada hal yang membahayakan). Bisa jadi endingnya salah satu diantara mereka menangis. Pada saat itu mungkin orang tua sudah menemukan arahan atau pesan apa yang akan disampaikan kepada masing-masing anak. Dan orang tua tidak perlu marah-marah lagi. Untuk anak-anak tertentu, pada usia 3 dan 5 tahun kadang mereka sudah bisa menyelesaikan masalahnya tanpa harus ada yang menangis. Langkah cuek ini juga dapat dilakukan untuk anak-anak yang mencoba mempengaruhi sikap orang tua. Misalnya dengan cara menangis atau membuat ulah, keributan, kekacauan agar apa yang diinginkan dapat dipenuhi. Orang tua harus cermat dalam menentukan sikap. Jika memang sesuatu yang diminta merupakan hal yang memang dibutuhkan dan harus dipenuhi maka orang tua bisa memberikan dengan tetap memberi penjelasan kepada anak bahwa membuat ulah, keributan, kekacauan tidak perlu dilakukan. Bahwa meminta dengan baik dan sopan adalah lebih baik. Tetapi untuk suatu hal yang mengada-ada saja maka berlatih untuk ’cuek’ bisa menjadi pilihan orang tua.
4.    Apabila orang tua sedang capek atau sedang menghadapi masalah yang rumit atau sedang mengejar deadline maka lebih baik jika meminta maaf terlebih dahulu dan memberitahukan kepada anak bahwa ayah atau ibu minta tolong untuk istirahat dulu (agar anak tidak mengganggu). Ayah atau ibu perlu meminta maaf karena bisa jadi pada saat itu anak kita sedang membutuhkan bantuan atau perhatian. Mereka mengajak kita bermain atau menyelesaikan masalahnya, tetapi orang tua tidak bisa memenuhinya pada saat itu juga. Hal ini juga bisa digunakan sekaligus untuk melatih empati anak, agar anak belajar mengetahui perasaan orang lain, mengerti kondisi orang lain. Jika pada masanya (usia masih sangat kecil) hal ini belum memungkinkan dilakukan maka orang tualah yang harus mengalahkan emosinya dan memenuhi kebutuhan anak. (Mungkin anak mengajak bermain atau minta ditemani menggambar, dan lain-lain). Apabila pada saat capek dan banyak urusan tersebut orang tua mengahdapi anak yang memancing emosi, maka saran untuk ’diam sementara’ bisa menjadi pilihan orang tua.
Semoga kita bisa menjadi orang tua yang semakin bikasana. Amien.
Allahu ’alam bish showab.